UMR: HAK atau anugerah
Pdt. Sutjipto Subeno, M.Th.
UMR (Upah Minimum Regional)
seringkali menjadi anjang keributan antara pengusaha dan pekerja. Hal ini
terjadi karena masalah UMR hanya dilihat dari satu sisi yang, - saya pikir - ,
menjadi pola pikir dasar dari penetapan UMR itu, yaitu bagaimana seseorang bisa
hidup dengan gaji yang diperoleh. Pemikiran ini tidak salah, tetapi pemikiran
ini belum selesai. Mengapa? Karena isu masalah UMR hanya menyentuh sebagian
dari seluruh pekerja atau dunia kerja.
Mengapa orang-orang yang duduk
menjadi staf atau bahkan manager tidak pernah ribut dengan UMR atau bertanya
berapa UMR tahun ini dikotanya? Karena gajinya sudah jauh di atas UMR. Mengapa
orang-orang ini bisa mendapatkan penghasilan di atas UMR, bahkan berpuluh kali lipat
dari nilai UMR? Jika hari ini UMR ditetapkan 700 ribu rupiah, maka ada manager
yang bergaji 7 juta rupiah, bahkan 70 juga rupiah. Disini kita perlu mengerti
hakekat UMR, sehingga para pengambil kebijakan dan juga para orang-orang yang
terkait dengan masalah UMR meletakkan problematika UMR di posisi yang tepat.
Jika hakekat UMR bisa dikembalikan ke posisinya yang tepat, maka setiap
pengambilan keputusan dan landasan pijak yang dipakai akan menjadi kokoh dan
tidak memberikan kesempatan untuk terjadinya keributan atau polemik masalah
UMR. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.
1. UMR terjadi karena kualitas kerja
yang tak memadai dengan kualitas hidup
Seorang yang bekerja akan mendapat
upahnya. Yang tidak bekerja tidak usah makan. Demikian kebenaran dasar hidup.
Orang yang tidak bekerja tetapi mau menikmati hidup, ia akan menjadi parasit
bagi sesamanya. Jika negara dipenuhi orang seperti ini, maka negara itu akan
celaka, bangsa itu akan menjadi bangsa yang tidak adil dan miskin, karena orang
yang bekerja dengan susah payah, hasilnya disedot oleh mereka yang tidak
bekerja tetapi mau hidup nikmat. Orang yang bekerja baik, dia mendapat upah
yang baik pula. Jika satu perusahaan tidak mau memberikan upah yang baik
kepadanya, maka orang itu akan "dibajak" dan ditarik ke perusahaan
lain yang bisa menghargai dia lebih. Maka semakin orang itu berkualitas,
semakin tinggi penghasilan yang didapat, dan tentu semakin baik juga kualitas
hidupnya. Seseorang yang mempunyai penghasilan di atas 50 juta rupiah, tentulah
secara standard ia akan berkendaraan mobil pribadi ke tempat kerja, berbeda
dengan dia yang bergaji 1 juta rupiah. Yang berpenghasilan 1 juta rupiah sulit
untuk berkendaraan mobil pribadi, karena penghasilannya tidak mampu menutup
biaya operasi dan perawatan mobilnya. Demikian juga dengan pola makan,
fasilitas studi, kemampuan menikmati berbagai kemudahan dan kemewahan hidup
tertentu. Orang yang berpenghasilan 50 juta rupiah, pasti memberikan kualitas
kerja yang memadai dengan penghasilannya tersebut (kecuali ia melakukan
kejahatan.)
UMR terjadi karena kualitas kerja
yang dilakukan ternyata tidak memadai jika diberlakukan hukum umum di atas.
Artinya, kualitas kerja itu hanya menghasilkan nilai kerja mungkin separuh UMR
atau sepertiga UMR. Maka kalau dia dibayar sesuai kapasitasnya, ia tidak bisa
hidup yang paling sederhana. Jadi dengan kata lain, orang-orang yang masih
memerlukan UMR adalah orang-orang yang secara mendasar kualitas kerjanya tidak
mencapai kualitas yang dituntut oleh pemberi kerja untuk mendapatkan
penghasilan seperti yang diinginkan. Boleh saja seorang buruh meminta gaji 2
juta rupiah, asal saja ia mempunyai kualitas kerja di atas atau memadai dengan
itu. Dan mereka yang memang sudah memadai dengan itu, perusahaan memang
membayarnya dengan nilai tersebut, dan kalau tidak diperlakukan demikian, orang
ini akan ditarik oleh perusahaan lain yang lebih menghargai hasil kerjanya.
Maka, untuk buruh mau meningkatkan penghasilannya, yang harus diupayakan adalah
peningkatan kualitas kerjanya. Ini yang seringkali tidak dikerjakan dan
diperjuangkan sekeras perjuangan UMR. Banyak buruh mau UMR tinggi, tetapi
mereka tidak berjuang bagaimana kualitas kerja mereka melampaui UMR sehingga ia
menjadi "rebutan" perusahaan yang mau membayar dia di atas UMR. Ini
yang harus diperjuangkan oleh serikat buruh dan semua instansi terkait,
khususnya Departemen Tenaga Kerja. Mentalitas kerja perlu diubah, bukan mau
mempunyai kualitas hidup di atas kualitas kerja, tetapi mempunyai kualitas
kerja di atas kualitas hidup. Jika rakyat mempunyai kualitas kerja di atas
kualitas hidup, maka rakyat itu akan makmur dan maju. Maka negara akan berubah
dan menjadi negara yang maju.
2. UMR terjadi karena hak lebih
dibicarakan ketimbang kewajiban
Perdebatan dan pergunjingan UMR
seringkali lebih kepada seberapa saya berhak hidup layak. Lalu mereka
menghitung berapa biaya transport, berapa uang makan, pakaian, sekolah dll.
Seluruh tindakan ini tidak sepenuhnya salah, tetapi ini seharusnya bukan isu
utama. Isu utama adalah bagaimana menciptakan keseimbangan di dalam dunia
kerja. Ketika buruh memperjuangkan UMR, ia tidak bertanya bagaimana kewajiban
kerjanya? Kalau memang ia dibutuhkan sedemikian hebat oleh perusahaan, maka
seharusnya ia bisa keluar dari perusahaan itu jika tidak dibayar sesuai yang
dia harapkan. Tetapi ketika ia keluar, apakah ada perusahaan lain yang mau
membayar dia lebih tinggi? Kalau tidak ada perusahaan lain mau membayar dia
lebih tinggi, berarti kewajiban kerjanya belum memadai, dan itu berarti ia
harus memenuhi kewajiban kerja yang memadai untuk honor atau penghasilan yang
dia inginkan.
Penetapan UMR belum pernah disertai
dengan sangsi kewajiban kerja dari pihak buruh. Berapa kualitas yang diharapkan
oleh perusahaan sehingga ia dibayar dengan nilai UMR tersebut. Dan ketika UMR
tidak dibayarkan sesuai dengan nilainya, buruh marah, tetapi ketika kualitas
kerja begitu rendah dan tidak memadai, perusahaan tidak bisa marah atau
menurunkan gaji mereka sesuai dengan nilai kerja. Disini semangat UMR menjadi
semangat yang menuntut hak dan merugikan perusahaan. Hal seperti ini tidak
terjadi di kalangan pekerja yang lebih tinggi kualitas kerjanya. Seluruh
pekerja yang berkualitas baik, dengan sendirinya mereka dibayar secara wajar,
melalui pertanggung-jawaban kerja. Seorang pekerja yang bekerja bertanggung
jawab, ia akan mendapatkan penghasilan yang semakin baik, bahkan menjadi
rebutan dari banyak perusahaan yang menginginkan keberadaan pegawai tersebut di
perusahaan mereka. Sebaliknya, yang tidak bertanggung jawab , disisihkan dari
dunia kerja. Pergumulan menuntut hak akan selalu merugikan hak orang lain, ini
kesadaran yang harus dimiliki oleh pemerintah dan semua instansi yang
membicarkaan masalah UMR. Sebaliknya, yang harus ditekankan adalah tuntutan
tanggung jawab. Tuntut perusahaan bertanggung jawab sebagai perusahaan, dan
tuntut pekerja bertanggung jawab sebagai pekerja. Tuntut pimpinan bertanggung
jawab sebagai pimpinan dan tuntut buruh bertanggung jawab sebagai buruh. Dengan
semua menjalankan kewajiban, maka semua hak akan lebih dipenuhi.
3. UMR adalah Anugerah
Jika kita mengkaji lebih dalam, maka
UMR adalah anugerah dari perusahaan terhadap para pekerja yang belum mencapai
kualitas kerja. Jika UMR adalah anugerah, maka hal ini seharusnya diletakkan
secara proporsional dalam rangka kesehatan perusahaan. Itu berarti ada
orang-orang di atas (para pegawai yang lebih tinggi) yang dikorbankan
penghasilannya untuk menunjang mereka yang disubsidi dengan UMR. Mengapa muncul
pengertian ini? Karena perusahaan akan terus menjalankan keseimbangan secara
natural. Kalau perusahaan memiliki pengeluaran yang lebih besar dari efisiensi
perusahaan, maka perusahaan itu cepat atau lambat akan bangkrut. Ini yang
menyebabkan banyak perusahaan hengkang dari Indonesia, karena merasa kesulitan
untuk memelihara keseimbangan perusahaan. Jika mau tetap seimbang, perusahaan
bisa mencapai keuntungan yang memadai, maka ia harus menjaga agar produksi bisa
dipelihara seimbang. Itu berarti, seluruh total penghasilan harus dijaga tidak
melampaui nilai tertentu. Semakin besar subsidi UMR, maka uang subsidi terhadap
efisiensi kerja, harus diambil dari gaji orang-orang yang lain, yang seharusnya
bisa dibayar lebih tinggi. Sampai batas tertentu mungkin para atasan masih rela
sebagian honornya (meskipun tidak kentara) diambil untuk mendukung UMR. Tetapi
kalau terlalu besar, maka gaji bagi para staf dan manager menjadi kecil, maka
mereka-mereka akan ditarik oleh perusahaan-perusahaan lain yang lebih mampu
membayar mereka. Ketika perusahaan kehilangan top manager dan orang-orang yang
baik dalam perusahaan, maka perusahaan itu akhirnya goncang dan ambruk. Maka
semua akhirnya rugi, dan terjadilah PHK besar-besaran seperti belakangan ini.
Sebaliknya, perusahaan yang bisa menjaga keseimbangan dan membayar tenaga
menengah ke atas dengan baik, maka kinerja perusahaan akan terjaga baik, dan
itu membuat perusahaan mampu bertahan dalam persaingan yang semakin sulit
belakangan ini. Disini para buruh harus menyadari bahwa dengan mereka mendapat
UMR, mereka telah merugikan orang lain, dan mereka mendapat anugerah dari
orang-orang yang dirugikan ini. Dengan demikian, maka semua instansi terkait
perlu memikirkan secara total, bukan sekedar menyatakan bahwa untuk bisa hidup
layak seseorang membutuhkan sekian rupiah. Memang untuk hidup layak seseorang
membutuhkan sekian rupiah, dan seharusnya Departemen Sosial yang menunjang gap
(kekurangan) antara kualitas kerja dan kualitas hidup yang diharap. Tetapi
ternyata ini tidak lagi menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi dialihkan
menjadi subsidi dari semua pegawai atasan lainnya.
Penutup
Maka dalam kaitan masalah UMR, ada
baiknya seluruh bangsa ini merubah seluruh mentalitas dengan tidak menciptakan
bangsa pengemis, tidak mentolerir semua bentuk pengemis, baik yang kelihatan
nyata di pinggir jalan, maupun yang tak kentara seperti di dalam berbagai
format UMR atau berbagai cara dunia kerja lainnya. Kita harus memacu diri,
sehingga tidak perlu lagi ada UMR, karena setiap orang memang layak dibayar dan
berpenghasilan di atas UMR, setara dengan kualitas kerjanya yang memang cukup
baik. Dari mana dimulai? Pertama, dari para pemimpin negara, yang tidak mencari
fasilitas, tetapi menyatakan kualitas kerjanya, sampai orang merasa senang
memberikan penghasilan yang memadai, dan tidak marah-marah ketika gaji para pejabat
mau dinaikkan; dan kedua, dari sekolah, dari anak-anak, yang dibangun
mentalitas kerjanya, tidak biasa meminta-minta anugerah, mendapatkan dispensasi
dan berbagai kemudahan, tetapi dilatih belajar keras dan bekerja keras, dengan
para pimpinan menjadi teladan. Mungkinkah usulan ini suatu saat bisa
dipertimbangkan?
Profil:
Pdt. Sutjipto
Subeno S.Th., M.Div. M.Th.,
dilahirkan
di Jakarta pada tahun 1959. Beliau menyerahkan diri untuk menjadi hamba
Tuhan
ketika sedang kuliah di Fakultas Teknik Elektro Universitas Trisakti
Jakarta.
Menyelesaikan studi Sarjana Theologi-nya di STT Reformed Injili
Indonesia di
Jakarta tahun 1995 dan tahun 1996 menyeleselaikan gelar Master
Divinity-nya di
sekolah yang sama. Tahun 2012 beliau mendapatkan gelar Magister Theologi
dari STT Reformed Injili Internasional di Jakarta. Sekarang beliau
sedang di dalam studi Doktoral-nya di STT Reformed Injili Internasional
yang bekerja sama dengan Westminster Theological Seminary di
Philadelphia, USA
Setelah pelayanan di Malang dan
Madura, sejak tahun 1990 beliau bergabung dengan Kantor Nasional Lembaga
Reformed Injili Indonesia di Jakarta. Beliau melayani di bidang literatur yang
meliputi penerjemahan dan penerbitan buku-buku teologi. Selain itu beliau juga
mengelola Literatur Kristen Momentum di Jl. Tanah Abang III/1 (sejak tahun 1993)
dan di Jl. Cideng Timur 5A-5B (sejak tahun 1995).
Beliau
ditahbiskan sebagai pendeta
pada Mei 1996 dan mulai Juni 1996 menjadi gembala sidang GRII Surabaya.
Selain
sebagai gembala sidang, saat ini beliau juga sebagai direktur
operasional dari
penerbitan dan jaringan toko buku Momentum dan direktur International
Reformed Evangelical Correspondence Study (IRECS), sebuah sekolah
teologi
korespondensi untuk awam berbahasa Indonesia dengan jangkauan secara
internasional. Selain itu beliau adalah dosen terbang di STRI Jakarta
dan STT
Reformed Injili Internasional di Jakarta. Beliau adalah co-founder dari
Sekolah Kristen Logos di Surabaya, yang dimulai tahun 2005.
Beliau juga banyak melayani kotbah
dan seminar di berbagai gereja, persekutuan kampus dan persekutuan kantor, baik
di dalam negeri maupun di luar negeri; seperti Medan, Batam,
Singapura, Australia dan Eropa (Jerman dan Belanda), dan USA.
Beliau menikah dengan Ev. Susiana J
Subeno dan dikaruniai dua orang anak bernama Samantha Subeno (1994) dan
Sebastian Subeno (1998).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar