Pandangan Tentang Waktu
Pdt. Dr. Stephen Tong
Pdt. Dr. Stephen Tong
"Kita perlu pula memikirkan kembali
pandangan orang-orang dunia mengenai waktu. Mereka sering berkata, 'Time is
Money' -- Waktu adalah uang."
Apakah Waktu Itu?
Agustinus mengakui, "Kalau ditanyakan pada saya, baru saya
sadar bahwa saya tidak mengerti apa itu waktu." Seorang sastrawan China
pernah mengatakan, "Waktu adalah sesuatu yang tidak kelihatan, tetapi
begitu nyata." Pada waktu kita berjalan, waktu itu lewat di antara kaki
kita. Pada waktu kita tidur, "waktu" sedang lewat di sekitar tempat
tidur kita. Ini semua memberikan keinsafan kepada kita, bahwa waktu sedang kita
pakai, baik secara sadar maupun tidak. Kita sedang menjelajah di dalam sejarah,
memakai waktu yang diberikan Tuhan kepada kita.
Di dalam sejarah filsafat, kita melihat pada abad ke-20, kesadaran
dan kepekaan tentang waktu yang ditulis oleh banyak orang. Salah seorang
pemikir terbesar dari Jerman di abad ke-20, yang bernama Martin Heidegger
(1889-1976), menulis buku "Being and Time" (1927) -- Keberadaan dan
Waktu, yang tebalnya lebih dari 1500 halaman. Kesimpulannya, manusia harus
hidup secara otentik, hidup di dalam waktu. Tetapi para penganut
eksistensialisme yang lebih pesimis mengatakan bahwa, keadaan dari keberadaan
akan ditelan oleh ketidakberadaan. Maksudnya, ketika waktu kita selesai, kita
akan menjadi nihil. Ini bukan konsep Kristen, tetapi konsep ini sudah muncul
dalam pemikiran beberapa tokoh eksistensialisme sayap kiri yang atheis, seperti
Jean-Paul Sartre (1905-1980). Inilah pemikiran orang-orang yang belum mengenal kebenaran,
keberadaan manusia menuju kepada keberadaan yang nihil atau kosong. Artinya,
sekarang kita ada, hidup dan menikmati segala sesuatu. Tetapi, pada suatu hari,
pada waktu kita mati, segalanya selesai dan tidak ada apa-apa.
Kita sudah belajar bahwa salah satu hal yang paling sulit untuk
kita mengerti mengenai waktu adalah realitas waktu itu sendiri. Ada beberapa
butir yang penting mengenai waktu. Pertama, waktu merupakan sesuatu esensi
proses di dalam dunia yang relatif; waktu berkaitan dengan proses. Segala
sesuatu yang berada di dalam proses tidak bersifat mutlak. Ini dalil yang
sangat penting. Hanya Allah yang bersifat mutlak. Allah adalah Pencipta langit
dan bumi; Dia telah menciptakan dunia relatif, maka Dia sendiri tidak terikat
atau terbatas di dalam dunia relatif. Itulah sebabnya Allah tidak memerlukan
proses; Dia adalah "I Am that I Am" -- Yang Ada dan Kekal Sampai
Kekal, Yang Tidak Berubah. Tetapi kita semua yang diciptakan di dalam dunia
mengalami proses, dan di dalam proses kita memerlukan waktu, dan proses
mengalami suatu esensi waktu. Itulah sebabnya, waktu adalah esensi dari proses
di dalam dunia relatif.
Kedua, waktu merupakan suatu harta milik yang bersifat paradoks
dan eksistensi kita. Uang, rumah, mobil, emas, dan segala sesuatu yang kita
miliki merupakan harta milik kita di luar diri kita, tetapi waktu merupakan
harta milik di dalam diri kita. Jadi, waktu merupakan sesuatu yang begitu
penting dan serius, karena waktu adalah harta milik yang selalu dijalankan oleh
manusia. Banyak orang mementingkan uang, harta di luar diri mereka, dan
menggantinya dengan harta di dalam diri mereka; sering kali mereka merasa
menjadi orang yang sangat pandai karena bisa mendapatkan banyak uang. Namun,
pada saat mereka kehilangan waktu yang ada dalam diri mereka untuk mendapatkan
sesuatu yang nilainya kurang daripada waktu, mereka sebenarnya adalah
orang-orang bodoh. Setelah mereka mendapatkan segala sesuatu, pada waktu mereka
akan mati, mereka baru menyadari bukan saja semua itu tidak bisa dibawa mati, tetapi
juga mereka sudah menghamburkan waktu yang penting untuk hal yang tidak
bernilai kekal.
Uang memang penting dan kita perlukan, tetapi uang tidak pernah
menjadi lebih penting daripada hidup kita. Mengapa kita harus menghabiskan
waktu berpuluh-puluh tahun hanya untuk uang; beruang hanya untuk satu nilai?
Salah satu penilaian yang paling tidak bernilai adalah penilaian yang diwarisi
oleh kebudayaan Tionghoa, "Nilai satu-satunya adalah uang." Apakah
bangsa yang paling mementingkan (mengejar) uang menjadi bangsa yang terkaya di
dunia? Belum tentu! Sayang sekali, jika manusia tidak memunyai tujuan hidup
yang lain, kecuali mencari uang; mereka sebenarnya adalah orang-orang miskin.
Kita tidak boleh lupa, waktu yang ada pada kita adalah harta milik yang sangat penting
dan paling berharga, dan yang tidak dapat digantikan oleh apa pun.
Musa begitu sadar akan hal ini. Dia adalah orang pertama yang
mendapat wahyu Tuhan tentang ciptaan, tentang segala perubahan, tentang banjir
besar pada zaman Nuh, tentang permulaan dosa dan kematian, dan dia orang
pertama yang mencatat sejarah manusia. Waktu Musa mencatat, dia menyadari orang
pertama (Adam) 930 tahun umurnya, yang paling tua (Metusalah) 969 tahun. Nuh
950 tahun, Abraham 175 tahun, Harun 123 tahun, dan Musa sendiri 120 tahun.
Sedangkan orang-orang sezamannya kebanyakan hanya berusia 70 sampai 80 tahun.
Dari sinilah Musa memunyai kesadaran yang belum pernah ada pada orang lain.
Kesadaran ini begitu dalam di dalam diri Musa, sehingga dia menuliskan,
"Tuhan, hari-hari kami dihanyutkan, dihanguskan di dalam gemas dan
kemarahan-Mu".
Konsep waktu kita mengerti dengan jelas pada waktu kita memunyai
keadaan yang memiliki relasi dengan Tuhan Allah. Kalau kita tidak hidup tanpa
kesadaran eksistensi menghadap Tuhan Allah, kita akan hidup tanpa kesadaran
akan waktu. Inilah perbedaan antara manusia dengan binatang. Manusia diciptakan
bagi Allah, dengan pengertian dan kesadaran menghadap Allah, maka manusia
memunyai kemungkinan kesadaran akan waktu, sedangkan binatang tidak. Binatang tidak
pernah sadar bahwa waktu sedang memproses mereka menjadi tua dan mati. Musa
adalah orang yang paling mengerti paradoks tentang waktu ini.
Ketiga, waktu merupakan suatu realitas yang berhubungan dengan
ruang. Semua yang diciptakan Allah memunyai tiga unsur yang paling penting,
yaitu ruang, waktu, dan eksistensi. Ruang dan waktu merupakan wadah eksistensi
segala yang diciptakan Allah. Maksudnya, Allah menciptakan segala sesuatu dan
segala sesuatu itu ditaruh di dalam dua wadah, yaitu ruang dan waktu. Sering
kali kita hanya memikirkan ruang sebagai wadah, padahal waktu pun merupakan
wadah. Jadi, ruang dan waktu merupakan wadah yang menampung eksistensi kita;
ini penting kita sadari. Di surat kabar, kedua wadah ini secara tidak sadar
diakui, hari ini tanggal..., terbit... halaman. Demikian juga di batu-batu
nisan, lahir di..., tanggal/tahun...
Banyak orang hanya memikirkan soal ruang; sudah berapa luas tanah
yang mereka beli, rumah yang mereka miliki, uang dan kekayaan yang mereka
punyai, dan sebagainya. Sedangkan soal waktu mereka sama sekali buta. Mengapa
sering kali manusia hanya melihat ruang sebagai wadah dan kurang bisa memandang
waktu juga sebagai wadah? Karena sebagai wadah, ruang kelihatan lebih konkret
dibandingkan dengan waktu. Orang yang bijaksana memunyai kepekaan terhadap
waktu, dan waktu dengan ruang diseimbangkan; orang ini akan memunyai kekuatan
yang luar biasa di dalam hidupnya.
Pengertian dan kesadaran akan waktu ini penting sekali. Dan kalau
kita mau menggarap pekerjaan Tuhan, kita tidak boleh membuang-buang waktu hanya
untuk perselisihan dan saling mengkritik. Ada orang yang demikian sempit di
dalam memandang Kerajaan Allah. Paulus berkata, "Asal Injil (Kristus)
diberitakan, baik dengan maksud palsu maupun dengan jujur." (Filipi 1:18) Dia melihat waktu lebih penting daripada
metode dan yang lainnya. Tetapi ini tidak berarti motivasi kita di dalam
melayani Tuhan tidak penting, karena kita akan bertanggung jawab di hadapan
Tuhan.
Keempat, waktu merupakan kebutuhan bagi benda bergerak di dalam
ruang. Pada waktu suatu benda di dalam ruang bergerak, mendatangkan dimensi
yang keempat. Apakah hal-hal rohani termasuk dimensi keempat? Bukan, karena
hal-hal rohani termasuk dimensi tidak terbatas. Kalau kita mengerti hal-hal
rohani hanya di dalam dimensi keempat, ini akan menjadi sangat sempit
(dangkal). Sebenarnya, istilah dimensi keempat ini sudah dipakai di dalam
bidang fisika sebelum tahun empat puluhan oleh Albert Einstein; dia mengatakan
bahwa ruang adalah tiga dimensi, tetapi waktu termasuk dimensi keempat. Pada
waktu titik bergerak menjadi garis, garis bergerak menjadi bidang, bidang
bergerak menjadi ruang, dan pada saat ruang bergerak memerlukan waktu; inilah
yang dimaksud oleh Einstein sebagai dimensi keempat.
Dimensi keempat ini hanyalah merupakan suatu pelengkap dimensi
ketiga (ruang); keduanya sama-sama diciptakan Allah sebagai wadah bagi ciptaan.
Sedangkan hal-hal rohani, hubungan kita dengan Tuhan, termasuk dimensi tidak
terbatas, jauh lebih tinggi daripada dimensi keempat; semua yang terbatas tidak
mungkin mengerti hal rohani. Di dalam peribahasa Tionghoa kuno, alam semesta
dilukiskan dengan dua istilah. Istilah pertama, berarti atas, bawah, dan keempat
sudut. Istilah kedua berarti dulu, sekarang, dan selama-lamanya. Atas, bawah,
dan keempat sudut melukiskan ruang. Dulu, sekarang, dan seterusnya melukiskan
garis waktu. Maka, ruang dan waktu membentuk alam semesta. Demikianlah waktu
merupakan dimensi yang keempat, yang memperlengkapi ketiga dimensi lain yang
menjadi unsur pertama.
Pada waktu Musa sudah tua, dia mengetahui usianya sudah cukup
panjang, dan dia sadar waktu hidupnya sudah semakin singkat. Dia mau masuk ke
dalam tanah yang dijanjikan Tuhan; waktunya sudah terbatas, tetapi ruangnya
masih banyak sekali. Lalu dia mohon kepada Tuhan, "Izinkanlah aku masuk ke
tanah yang Kau janjikan itu." Tetapi Tuhan berkata, "Tidak, karena
engkau pernah tidak menguduskan Aku di hadapan umat-Ku" (Bilangan 27:12-14; Ulangan 3:23-27; 32:48-52). Tuhan hanya memerintahkan Musa
naik ke puncak gunung Pisga dan memandang tanah perjanjian itu, tetapi dia
tidak diperkenankan masuk ke sana; ruangnya bisa dilihat, tetapi waktunya tidak
ada lagi.
Kelima, waktu merupakan suatu wadah untuk menampung segala
peristiwa sejarah. Sejarah dicatat dalam buku, tetapi sejarah tidak ditampung
di dalam buku, melainkan di dalam waktu. Waktu membentuk sejarah. Waktu dan
kejadian-kejadian yang berada di dalam kelangsungan proses waktu membentuk
keseluruhan sejarah; dan ini merupakan suatu hal yang sangat serius. Wells,
seorang sejarawan Inggris yang bukan Kristen, pernah berkata, "Setiap
titik dari sejarah demikian dekat pada Allah." Sayangnya, kita tidak
memunyai kesempatan untuk menanyakan apa maksud perkataannya itu sebenarnya.
Tetapi kebanyakan orang yang menyelidiki sejarah memang memunyai kepekaan yang
luar biasa tentang waktu. Mengapa tidak semua yang terjadi di dalam waktu
dicatat sebagai sejarah? Karena dianggap tidak bermakna. Hanya
kejadian-kejadian yang bermakna yang dikumpulkan dan dicatat sebagai sejarah.
Di dalam bahasa Yunani (bahasa yang dipakai Allah untuk mewahyukan
kebenaran Kitab Suci), kata yang dipakai untuk waktu ada dua, yaitu
"kronos" dan "kairos". "Kronos" adalah urutan
waktu, sedangkan "kairos" menunjukkan hakikat waktu. Orang Yunani
sangat peka mengenai waktu, sehingga waktu dibagi ke dalam 64 tense. Bahasa
Inggris memunyai 16 tense. Bahasa Indonesia tidak mengenal sistem seperti ini.
Kalau kita mempelajari kebudayaan Yunani sebelum Kristus datang ke dunia, kita
akan merasa kagum. Di dalam seni, mereka berusaha memakai ruang untuk menangkap
waktu, dan hal ini diwariskan sampai Renaissance, bahkan hingga zaman modern.
Lukisan, ukiran, dan patung-patung seni yang bermutu selalu berusaha
menggabungkan ruang dan waktu. Banyak karya seni yang tinggi mencetuskan
filsafat atau pikiran orang-orang yang berbobot, dan mengajar kita sebagai
manusia yang pernah hidup di dalam dunia, untuk tidak membiarkan waktu kita
lewat bersama ruang yang sekaligus menjadi wadah (penampung) dari eksistensi
kita. Apalagi sebagai orang Kristen, kita harus memunyai kepekaan mengenai
waktu yang melebihi orang-orang yang bukan Kristen.
Konsep Mengenai Waktu
Kita
perlu memikirkan kembali pandangan orang-orang dunia mengenai waktu. Mereka
sering berkata, "Time is Money" -- waktu adalah uang. Pepatah ini
bodoh sekali. Waktu bukan uang; kalau waktu adalah uang, maka kita bisa menukar
waktu dengan uang. Ada peribahasa mengatakan, "Lebih mudah mencari uang
dengan waktu, tetapi tidak mudah dengan uang mencari waktu." Pepatah
Tionghoa kuno mengatakan, "Satu inci waktu sama dengan satu inci emas
nilainya, tetapi satu inci emas tidak bisa menggantikan satu inci waktu."
Kalau orang di Barat berkata, "Time is Money", maka orang di Timur (Tionghoa)
berkata "Time is money, but money is not time". Kalau waktu bukan
uang, bagaimanakah kita memandang waktu?
1. Waktu
adalah Hidup
Berapa panjang hidup kita, itulah seberapa panjang waktu kita; selesai hidup kita, selesai pula waktu kita; berhentinya eksistensi kita ditentukan berhentinya waktu yang ada pada kita. Kalau kita benar-benar mencintai diri kita sendiri, cintailah waktu yang ada pada hidup kita sendiri. Apa yang dapat kita kerjakan sekarang, jangan tunda sampai besok; apa yang bisa kita pelajari di masa muda, jangan tunggu sampai tua. Berapa banyak orang yang menyesali hidupnya; mengeluh karena tidak mungkin memutar kembali (mengembalikan) sejarah atau waktu yang sudah lewat. Penyesalan merupakan suatu kesedihan yang perlu kita prihatinkan, tetapi kita tidak memunyai daya apa-apa untuk menolong, karena penyesalan berarti mengakui ketidakberdayaan diri kita yang berada di dalam keterbatasan. Agar hidup kita tidak penuh penyesalan, kita harus cepat-cepat mengerjakan apa yang Tuhan inginkan kita kerjakan sekarang.
Berapa panjang hidup kita, itulah seberapa panjang waktu kita; selesai hidup kita, selesai pula waktu kita; berhentinya eksistensi kita ditentukan berhentinya waktu yang ada pada kita. Kalau kita benar-benar mencintai diri kita sendiri, cintailah waktu yang ada pada hidup kita sendiri. Apa yang dapat kita kerjakan sekarang, jangan tunda sampai besok; apa yang bisa kita pelajari di masa muda, jangan tunggu sampai tua. Berapa banyak orang yang menyesali hidupnya; mengeluh karena tidak mungkin memutar kembali (mengembalikan) sejarah atau waktu yang sudah lewat. Penyesalan merupakan suatu kesedihan yang perlu kita prihatinkan, tetapi kita tidak memunyai daya apa-apa untuk menolong, karena penyesalan berarti mengakui ketidakberdayaan diri kita yang berada di dalam keterbatasan. Agar hidup kita tidak penuh penyesalan, kita harus cepat-cepat mengerjakan apa yang Tuhan inginkan kita kerjakan sekarang.
2. Waktu
adalah Kesempatan.
Sebenarnya waktu lebih daripada kesempatan, tetapi setiap kesempatan tidak mungkin berada di luar waktu. Semua kesempatan berada di dalam waktu. Hal ini tidak berarti kita boleh memilih setiap kesempatan berdasarkan interes (keinginan/kecenderungan) kita sendiri, tetapi kita harus peka terhadap pimpinan Tuhan, lalu kita menangkap semua kesempatan yang penting.
Di dalam mitologi Yunani, dewa kesempatan dilukiskan dengan kepala botak di bagian belakang dan rambutnya hanya di bagian depan, dan memunyai sayap di kakinya, sehingga dewa kesempatan berjalan cepat sekali. Dewa kesempatan jarang lewat, maka manusia harus mencarinya. Kalau dewa kesempatan itu lewat dan manusia berusaha mengejarnya; ia tidak mungkin dapat mengejarnya, karena ia memunyai sayap di kakinya. Lagi pula kita tidak bisa menangkapnya dari belakang, karena kepala bagian belakangnya botak. Tetapi kalau manusia sudah bersiap-siap untuk menangkapnya sebelum dia tiba, dan begitu dia tiba langsung menangkapnya, masih bisa menangkapnya dengan memegang rambutnya yang di depan. Kita tidak memercayai mitologi mana pun, tetapi di dalam mitologi seperti itu ada pelajaran yang bisa kita dapatkan. Hal ini digabungkan dengan tiga kalimat, "Orang bodoh selalu membuang kesempatan; orang biasa menunggu kesempatan; orang pandai (bijaksana) mencari kesempatan". Kalau hari ini kesempatan itu datang, biarlah kita sudah bersiap-siap menangkapnya. Ketika banyak kesempatan yang disodorkan kepada kita, kita harus memilih yang terpenting.
Hidup kita hanya sekali; kita tidak kembali lagi setelah mati. Kita harus mengerjakan apa yang Tuhan ingin kita lakukan selama hari masih siang, sebab pada waktu malam tidak ada seorang pun dapat bekerja (band. Yohanes 9:4).
Sebenarnya waktu lebih daripada kesempatan, tetapi setiap kesempatan tidak mungkin berada di luar waktu. Semua kesempatan berada di dalam waktu. Hal ini tidak berarti kita boleh memilih setiap kesempatan berdasarkan interes (keinginan/kecenderungan) kita sendiri, tetapi kita harus peka terhadap pimpinan Tuhan, lalu kita menangkap semua kesempatan yang penting.
Di dalam mitologi Yunani, dewa kesempatan dilukiskan dengan kepala botak di bagian belakang dan rambutnya hanya di bagian depan, dan memunyai sayap di kakinya, sehingga dewa kesempatan berjalan cepat sekali. Dewa kesempatan jarang lewat, maka manusia harus mencarinya. Kalau dewa kesempatan itu lewat dan manusia berusaha mengejarnya; ia tidak mungkin dapat mengejarnya, karena ia memunyai sayap di kakinya. Lagi pula kita tidak bisa menangkapnya dari belakang, karena kepala bagian belakangnya botak. Tetapi kalau manusia sudah bersiap-siap untuk menangkapnya sebelum dia tiba, dan begitu dia tiba langsung menangkapnya, masih bisa menangkapnya dengan memegang rambutnya yang di depan. Kita tidak memercayai mitologi mana pun, tetapi di dalam mitologi seperti itu ada pelajaran yang bisa kita dapatkan. Hal ini digabungkan dengan tiga kalimat, "Orang bodoh selalu membuang kesempatan; orang biasa menunggu kesempatan; orang pandai (bijaksana) mencari kesempatan". Kalau hari ini kesempatan itu datang, biarlah kita sudah bersiap-siap menangkapnya. Ketika banyak kesempatan yang disodorkan kepada kita, kita harus memilih yang terpenting.
Hidup kita hanya sekali; kita tidak kembali lagi setelah mati. Kita harus mengerjakan apa yang Tuhan ingin kita lakukan selama hari masih siang, sebab pada waktu malam tidak ada seorang pun dapat bekerja (band. Yohanes 9:4).
3. Waktu
adalah Catatan (Red: "legacy" (Ingr))
Yakni catatan segala sesuatu di dalam hidup pribadi kita masing-masing. Tidak ada yang lebih serius dibandingkan dengan waktu, karena segala sesuatu dicatat di dalam waktu; segala sesuatu akan dan harus kita pertanggungjawabkan di hadapan Pencipta, Penebus, dan Hakim kita yang agung. Segala yang kita pikirkan dan kerjakan pasti akan memperhadapkan kita kepada Tuhan Allah, dan pada waktu itu kelak tidak ada seorang pun dapat menolong kita. Biarlah sekarang juga kita bertobat, meninggalkan segala dosa, memperbaiki kehidupan kita masing-masing, dan serahkan diri kepada Tuhan. Selama kita masih ada waktu untuk hidup, selama masih bereksistensi, selama masih diberikan kesempatan oleh Tuhan, biarlah kita gunakan waktu kita sebaik-baiknya.
Yakni catatan segala sesuatu di dalam hidup pribadi kita masing-masing. Tidak ada yang lebih serius dibandingkan dengan waktu, karena segala sesuatu dicatat di dalam waktu; segala sesuatu akan dan harus kita pertanggungjawabkan di hadapan Pencipta, Penebus, dan Hakim kita yang agung. Segala yang kita pikirkan dan kerjakan pasti akan memperhadapkan kita kepada Tuhan Allah, dan pada waktu itu kelak tidak ada seorang pun dapat menolong kita. Biarlah sekarang juga kita bertobat, meninggalkan segala dosa, memperbaiki kehidupan kita masing-masing, dan serahkan diri kepada Tuhan. Selama kita masih ada waktu untuk hidup, selama masih bereksistensi, selama masih diberikan kesempatan oleh Tuhan, biarlah kita gunakan waktu kita sebaik-baiknya.
Kita tidak mengetahui hidup kita di dunia ini berapa lama. Marilah
kita masing-masing menanyakan diri kita sendiri, "Sebelum saya pergi
menuju kekekalan, menghadap Tuhan, apa yang sudah saya persiapkan dan yang akan
saya persembahkan kepada-Nya?" Biarlah setiap kita memunyai kesadaran akan
waktu.
Sumber:
Diambil dari:
Judul
buku
|
:
|
Waktu
dan Hikmat
|
Judul
bab
|
:
|
Pandangan
Tentang Waktu
|
Penulis
|
:
|
Pdt.
Dr. Stephen Tong
|
Penerbit
|
:
|
Lembaga
Reformed Injili Indonesia, Jakarta 1994
|
Halaman
|
:
|
29
-- 38
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar