Teologia Proper
Predestinasi
oleh: Wahyu A. Setiadi
A. Pendahuluan
Predestinasi
oleh: Wahyu A. Setiadi
A. Pendahuluan
Topik tentang “Predestinasi” adalah salah satu topik yang paling
sering mengundang diskusi khususnya di
dalam konteks pemikiran Kristen sepanjang sejarah. Perbedaaan pemahaman tentang
ajaran pemilihan ini seringkali menimbulkan konflik di dalam gereja.
Kelompok-kelompok seperti Calvinisme dan Arminianisme merupakan dua kubu yang
berada pada garis yang saling bersilangan dan yang tidak mungkin lagi
didamaikan. Meskipun keduanya sama-sama setuju dengan doktrin Predestinasi yang
terdapat dalam Alkitab, namun keduanya memiliki pengertian yang berbeda atas
doktrin tersebut. Sehingga terkadang banyak perdebatan yang dilakukan oleh para
teolog menjadi suatu hal yang kurang efisien, oleh karena tidak saling berusaha
mencari solusinya melainkan tetap bersikukuh dalam memegang pandangannya. Pada
dasarnya kedua kubu tersebut memiliki argumen yang sama kuatnya didukung oleh
ayat-ayat Alkitab, tetapi keduanya memiliki penekanan yang berbeda terhadap
bagian-bagian dalam Alkitab.
Istilah Predestinasi muncul
khususnya di dalam perjanjian baru dan
Rasul Paulus menggunakan istilah predestinasi untuk menunjuk kepada maksud
pemilihan Allah bagi umat-Nya. Namun demikian di dalam PL pun juga ada topik mengenai hal itu. Predestinasi sendiri merupakan topik yang termasuk
di dalam ranah ketetapan dan pertimbangan Allah. Yakub Susabda dalam bukunya
“Mengenal dan Bergaul dengan Allah”
memberikan pembahasan mengenai topik predestinasi tersebut dan penulis akan
menggunakan buku tersebut sebagai sumber utama di dalam tulisan ini. Susabda memberikan
bukti-bukti baik di dalam Perjanjian Lama (PL) maupun Perjanjian Baru (PB)
dimana Allah sendiri bertindak untuk memilih sesuai dengan kehendak-Nya. Dalam
PL tindakan Allah tentang pemilihan-Nya
dapat disaksikan melalui contoh-contoh seperti, Ia berkenan kepada Habil
kemudian memilih keturunan Set, dan menolak turunan Kain (Kej. 4:25-26, 5:1-32,
4:17-24). Ia membenci Esau dan mengasihi Yakub dan Israel keturunannya (Kej
25:23, Rom. 9:11-12) (220). Allah kemudian menyingkapkan pikiran-Nya untuk
diketahui umat-Nya melalui hukum-hukum yang diberikan-Nya kepada mereka, dan
sampai pada suatu waktu tertentu Ia sendiri menyingkapkan apa yang sebetulnya
menjadi tujuan-Nya yaitu keselamatan yang dijanjikan melalui Mesias.
Keselamatan itu sendiri bukanlah berdasarkan pemilihan kelompok tetapi
pemilihan pribadi. Oleh karena itu orang Israel tidak dapat mengklaim dengan
sendirinya bahwa mereka pasti selamat tanpa memiliki iman atau percaya pada
janji Allah. Demikian juga dalam PB, Rasul Paulus memanggil jemaat sebagai
orang-orang pilihan Allah (Kol. 3:11). Sehingga bilamana di dalam PL
ditunjukkan mengenai pemilihan Allah terhadap bangsa Israel, maka di dalam PB
Allah dengan cara yang lebih jelas lagi menyatakan kehendak-Nya. Yaitu Ia bukan
memilih suatu kelompok, melainkan pribadi-pribadi (Mat. 24:31, Luk 18:7, Kis.
13:48, Rom. 8:33) (222). Dengan
demikian, bukti-bukti tersebut sekaligus mau menyatakan bahwa konsep
predestinasi adalah konsep yang secara
jelas diajarkan di dalam Alkitab.
B. Pengertian
Predestinasi
Pemilihan atau yang biasa disebut dengan Predestinasi merupakan
tindakan Allah dalam mempertimbangkan dan menetapkan suatu pemilihan bagi
manusia yang telah jatuh ke dalam dosa untuk memberinya suatu anugerah
keselamatan. Sedangkan menurut John Sailhamer, “In the popular mind, the term Predestination usually means the decree
of God whereby he determined in eternity past the destinity of all of
humankind, both the saved and the lost.”[1] Penentuan
atas pemilihan tersebut telah terjadi sejak semula di dalam kekekalan (Roma
8:29). Kata yang dipakai oleh Rasul Paulus dalam Roma 8 tersebut adalah (Yunani
“προοριζω“ – predestinate). Susabda mengatakan bahwa Allah yang memilih dan
menetapkan itu semata-mata didasarkan atas kasih dan anugerah-Nya serta menurut
pertimbangan-Nya sendiri, tanpa melandasakannya pada perbuatan dan kebaikan
manusia (Mark 13:20, Kis 9:15, 13:17) (222). Oleh karena dalam Roma 3:9-20
sendiri dikatakan mengenai identitas manusia yang telah rusak, dimana tidak ada
seorangpun yang berbuat benar dan mencari Allah. Namun dalam keadaan yang
seperti demikian, Allah justru menunjukkan kasih-Nya melalui anak-Nya yang
telah mati ketika manusia masih berdosa. Jadi konsep pemilihan adalah merujuk
kepada suatu anugerah yang sebetulnya tidak layak diterima oleh manusia.
C.
Perkembangan Konsep Predestinasi dalam Sejarah
Doktrin Predestinasi sebetulnya sudah ada sejak zaman bapa-bapa
gereja, meskipun pada gereja mula-mula tidak membahas mengenai hal ini karena
berfokus pada aspek-aspek praktis Injil tentang bagaimana berita sukacita
dibagikan. Pemikiran gereja mula-mula tentang kebebasan manusia meresponi
Anugerah Allah, kemudian dikembangkan lagi melalui suatu konsep theologi dengan
lebih rinci oleh Pelagius, yaitu seorang tokoh yang mewakili gereja-gereja
timur (Abad 4-5). Ia berpandangan bahwa manusia itu memiliki ‘free will’, sebab hanya dengan memiliki hal itulah manusia
dapat memiliki tanggung-jawab. Dan kebebasan yang ia miliki menyebabkan ia
mampu memilih serta juga merealisasikan pilihannya. Pelagius percaya bahwa
keselamatan dari Allah diperoleh manusia dengan kesadarannya memilih untuk
menerima berita Injil, sementara jika manusia menolak maka konsekuensinya
adalah binasa. Singkatnya Pelagius percaya bahwa manusia bisa menentukan
nasibnya sendiri (224). Kemudian pandangannya dikembangkan lagi oleh John
Cassianus. Ia berpandangan bahwa kejatuhan manusia telah melumpuhkan dirinya
tetapi bukan berarti manusia tidak bisa apa-apa, ia memang sakit dan tidak bisa
menolong dirinya sendiri, namun ia masih bisa menerima obat, yaitu keselamatan
dari Allah. Pandangan ini seolah-olah telah memasukkan konsep predestinasi, namun
pada dasarnya masih tergantung sikap manusia. Pandangan ini disebut sebagai
Semi-Pelagianisme (225). Menurut Susabda pemikiran seperti itu belum konsisten
dengan Alkitab walaupun argumentasinya di dasarkan pada beberapa ayat Alkitab,
sehingga Susabda kemudian berusaha merujuk kepada pandangan Agustinus yang
kemudian dipakai oleh Calvin dimana buah-buah pikiran yang merupakan hasil pergumulannya
lebih konsisten dengan apa yang diajarkan Alkitab. Menurut Agustinus, manusia yang telah mati di
dalam dosa tidak punya “will” untuk
percaya kepada Injil, karena itu Allah memberi “grace” kepada mereka supaya mereka mampu meresponi berita tentang
keselamatan di dalam Injil. Grace yang diberikan Allah ada beberapa tahapan,
yaitu prevenient grace (yang menghidupkan will manusia), cooperating grace
(anugerah untuk bekerja sama dengan Roh Kudus), sufficient grace (anugerah
untuk terus memelihara hal baik yang telah dimulainya) dan efficient grace
(anugerah untuk hidup dalam kebenaran yang dipercayainya). Sehingga dapat
disimpulkan bahwa keselamatan itu hanyalah karena anugerah (226). Pandangan
Agustinus ini diterima oleh Gereja khususnya di Barat kecuali pandangannya
tentang double-predestination, yaitu pandangan bahwa Allah sejak mula
menetapkan sebagian orang untuk diselamatkan dan sisanya dibinasakan. Konsep
mengenai predestinasi sendiri sebetulnya juga dipegang oleh kaum Lutheran,
yaitu mereka percaya bahwa keselamatan adalah anugerah namun mereka menolak
ekses yang bisa timbul bila dirumuskan dengan lebih jelas tentang konsep
predestinasi oleh sebab hal itu akan menimbulkan kegelisahan dalam hati nurani
manusia (230). Doktrin pemilihan ini selalu dikaitkan dengan Calvinis atau
Reformed, meski realitanya beberapa teolog reformed sendiri memiliki pandangan
yang berbeda. Ada beberapa tokoh Reformed yang memilih pandangan moderat, yaitu
mereka memulainya dengan anugerah Allah dalam Kristus, dimana pengetahuan
pemilihan tentang Allah digunakan untuk semakin meneguhkan iman orang percaya
dan mendorong mereka agar selalu mengucap syukur (232). Jadi sebagaimana Calvin
sendiri mengikuti konsep Agustinus mengenai double-predestination, maka hal
tersebut telah menjadi bahan perdebatan, bahkan menjadi persoalan yang mengusik
hati nurani manusia. Namun disatu sisi, pandangan Semi-Pelagianisme yang
akhirnya dihidupkan kembali oleh Jacob Arminius yang adalah tokoh dari
Arminianisme, tidaklah konsisten dengan Alkitab karena hanya menekankan “free
will” manusia dan mengabaikan Allah sebagai penentu anugerah.
D. Tanggapan
Konsep predestinasi adalah hal yang sulit untuk dipahami. Sewaktu
pertama kali mengetahui doktrin ini dalam ajaran Calvin maka ada dua hal yang
tampak seperti kontradiksi dan membingungkan yaitu disatu sisi pemilihan itu
semata-mata didasarkan oleh kasih Allah kepada manusia yang berdosa, namun
disisi lain kebinasaan orang-orang yang tidak terpilih membuat keadilan Allah
dipertanyakan. Jika Allah maha kasih mengapa Allah hanya memilih sebagian dan
yang lain dibiarkan untuk binasa? Pergumulan akan doktrin ini seringkali
memaksa penulis untuk memikirkan konsekuensi logis mengenai predestinasi. Yaitu
jika Allah memberikan anugerah keselamatan hanya kepada beberapa orang (karena
realitanya tidak semua orang), maka yang lain tentunya akan binasa (apakah
Tuhan menentukan orang untuk binasa?), bukankah Allah tidak menghendaki
seorangpun binasa (1 Pet. 3:9) ? Pertanyaan-pertanyaan ini sebetulnya adalah
keinginan penulis untuk merasionalisasikan hal-hal yang sulit untuk dipahami,
sehingga akhirnya penulis terjebak ke dalam suatu keadaan dimana fokus dan
tujuan penulis telah berubah. Penulis mengambil sikap yang keliru ketika
akhirnya mempertanyakan keadilan Tuhan, oleh karena Allah memiliki
atribut-atribut yang kompleks yang tentunya tidak hanya menekankan salah satu
sisi dari atribut-Nya saja. Keinginan untuk mengerti hal-hal yang “diluar
pengertian” atau “dalam konteks
kekekalan” adalah hal yang sebetulnya kurang bijak, sebab rasio manusia yang
terbatas tak mampu mengertu hakekat Allah yang tak terbatas dan logika pikir
yang terikat dengan hukum sebab-akibat yang terikat ruang dan waktu tidak
berlaku dalam kekekalan. Maka hal yang memungkinkan adalah mengalami pengalaman-pengalaman iman
walaupun tidak pernah selesai
memahaminya.
Namun, penulis
akhirnya sangat menyetujui solusi yang diberikan Susabda bahwa hal yang penting
adalah mampu memahami dua konteks yang berbeda, yaitu kairos dan kronos, sebab
tanpa memahami perbedaan keduanya maka tidak menutup kemungkinan bahwa hal-hal
yang berada di dalam konteks kairos dituntut untuk dimengerti semua dalam
konteks kronos (walau ada sedikit penyingkapan tentang hal-hal dalam konteks
kairos), dan sebaliknya hal-hal yang sebetulnya berkaitan dengan konteks kairos
seperti, pertimbangan dan keputusan Allah digunakan untuk mendukung hal-hal
yang ditemukan pada konteks kronos.
Selanjutnya
adalah masalah paradoks antara predestinasi dan free will. Kedua hal ini juga
sulit dimengerti. Jika Allah telah menetapkan maka, sepertinya tanggung jawab
manusia menjadi hilang karena apa yang ditetapkan Allah itulah yang pasti akan
terjadi. Berkhof memberi contoh suatu pandangan
yaitu bahwa doktrin ini menyingkirkan semua motif bagi usaha manusia. Jika
Allah telah menetapkan, maka seseorang tidak perlu memikirkan masa depannya
bahkan tidak perlu usaha apa-apa untuk memperoleh keselamatannya.[2]
Menurutnya ini adalah pandangan yang salah, tetapi doktrin “Once saved always
saved” sendiri memang mudah sekali disalah-pahami. Sebetulnya Alkitab sendiri mengajarkan
paradoks, contohnya ketika Paulus mengatakan “Kerjakanlah keselamatanmu…
(menekankan free will), kemudian ia melanjutkan “Karena Allahlah yang
mengerjakan di dalam kamu,… menurut kerelaan-Nya”. (Filipi 2:12-13). Jadi
meskipun Allah telah memberikan suatu jaminan akan keselamatan, suatu tanggung
jawab tetaplah dituntut dari manusia, karena tujuan keselamatan yang diberikan
adalah termasuk juga proses pengudusan yang menjadikan-Nya semakin serupa
dengan Kristus, yang artinya ada perjuangan untuk menundukkan diri agar taat
terhadap bimbingan Allah. Susabda dalam persoalan ini memberi solusi bahwa tidak
mungkin predestinasi Allah terjadi kalau Ia tidak memakai sarana-sarana yang
mewujudkan ketetapan-Nya yang ada disana, dan sarana itu adalah ‘kehendak
bebas’ (251). Berkhof juga menambahkan bahwa suatu ketetapan dari Allah itu
meneguhkan satu intra-hubungan antara sarana dan hasil akhir, dan hasil akhir
ditetapkan hanya sebagai hasil dari sarana, ketetapan ini mendorong adanya
usaha dan bukan melemahkan usaha itu.[3] Namun begitu banyak orang percaya juga salah
memahami konsep ini, oleh sebab mereka menganggap bahwa ketika Allah menetapkan
dan hal itu diwujudkan dalam free will manusia, maka seolah-olah manusia
hanyalah sebagai robot yang dikendalikan oleh Allah supaya rencana-Nya
terwujudkan. Tetapi sanggahan ini malah membuktikan ketidakpahaman mengenai
konsep anugerah. Sebab, orang percaya
menurut Agustinus diberi anugerah yang merawat kehendaknya supaya kembali
mencintai kebenaran secara bebas.[4]
Hal ini berhubungan erat dengan kondisi manusia setelah kejatuhan yang ‘will’
nya sudah rusak, dan cenderung kepada berbuat yang tidak benar di hadapan Allah
(Roma 3:9-12). Oleh karena itu Allah memberi anugerah untuk membebaskan manusia
dari perbudakan kuasa dosa yang cenderung menghasilkan perbuatan-perbuatan
kedagingan. Jadi predestinasi dan free will tidaklah bertentangan, dan manusia
bukanlah robot, keselamatan adalah suatu jaminan kekal dari Allah.
Dengan
demikian, penulis ingin menyimpulkan bahwa Predestinasi adalah suatu ketetapan
Allah dimana orang percaya seharusnya mengambil sikap yang positif, yaitu
meresponinya dengan ucapan syukur dan kerendahan hati atas kemurahan Allah yang
telah diberikan. Penulis setuju dengan apa yang dikatakan oleh Schaeffer bahwa, “The proper response to this mystery should not be intellectual
frustration or artificial harmonizations but rather an attitude of humility,
reverence, and worship.”[5]
Penulis juga berusaha menyediakan ruang untuk hal-hal yang tidak pernah
dipahami oleh rasio, dan tidak berusaha untuk mengertinya, melainkan berfokus
kepada pengenalan akan Allah melalui pengalaman-pengalaman iman yang semakin
memperkaya dan memperdalam spiritualitas kehidupan di dalam Kristus.
DAFTAR
PUSTAKA
Berkhof, Loius. Teologi
Sistematika: Doktrin Allah. Diterjemahkan oleh Yudha Thianto Surabaya:
Momentum, 1993.
R. Burson, Scott and Walls, Jerry L. C.S
Lewis & Francis Schaeffer: Lessons for a New Century From The Most Influential
Apologists. Downners Grove: InterVarsity Press, 1998.
Sailhamer, John H. Christian Theology. Grand Rapids,
Michigan: Zondervan, 1998.
Susabda, Yakub B. Mengenal dan
Bergaul dengan Allah. Batam Centre: Gospel Press, 2002.
Urban, Linwood. Sejarah
Ringkasan Pemikiran Kristen. Diterjemahkan oleh Liem Sien Kie Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2006.
[1] John H.
Sailhamer, Christian Theology (Grand Rapids, Michigan: Zondervan, 1998), 35.
[2]
Loius Berkhof, Teologi Sistematika:
Doktrin Allah, terj. Yudha Thianto (Surabaya: Momentum, 1993), 194.
[3] Loius
Berkhof, Teologi Sistematika: Doktrin
Allah, 195.
[4] Linwood
Urban, Sejarah Ringkasan Pemikiran
Kristen, terj. Liem Sien Kie (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), 237.
[5]
Scott R Burson and Jerry L. Walls, C.S
Lewis & Francis Schaeffer: Lessons for a New Century From The Most
Influential Apologists (Downners Grove: InterVarsity Press, 1998), 88.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusSaya mnyimpulkan predestinasi mnurut penulis adalah Jaminan kekal bersyarat , sdgkn tdk ada jaminan manusia bisa memenuhi syarat scr trs menerus .. artinya sewaktu waktu jaminan kekal ini bisa berubah wujud jd jaminan sementara/tdk kekal...
BalasHapus