Rabu, 09 Desember 2015

Predestinasi (Pemilihan oleh Allah sesuai rencana kekal-Nya)

Teologia Proper
Predestinasi
oleh: Wahyu A. Setiadi

A. Pendahuluan

Topik tentang “Predestinasi” adalah salah satu topik yang paling sering mengundang diskusi  khususnya di dalam konteks pemikiran Kristen sepanjang sejarah. Perbedaaan pemahaman tentang ajaran pemilihan ini seringkali menimbulkan konflik di dalam gereja. Kelompok-kelompok seperti Calvinisme dan Arminianisme merupakan dua kubu yang berada pada garis yang saling bersilangan dan yang tidak mungkin lagi didamaikan. Meskipun keduanya sama-sama setuju dengan doktrin Predestinasi yang terdapat dalam Alkitab, namun keduanya memiliki pengertian yang berbeda atas doktrin tersebut. Sehingga terkadang banyak perdebatan yang dilakukan oleh para teolog menjadi suatu hal yang kurang efisien, oleh karena tidak saling berusaha mencari solusinya melainkan tetap bersikukuh dalam memegang pandangannya. Pada dasarnya kedua kubu tersebut memiliki argumen yang sama kuatnya didukung oleh ayat-ayat Alkitab, tetapi keduanya memiliki penekanan yang berbeda terhadap bagian-bagian dalam Alkitab.
Istilah Predestinasi muncul khususnya di dalam  perjanjian baru dan Rasul Paulus menggunakan istilah predestinasi untuk menunjuk kepada maksud pemilihan Allah bagi umat-Nya. Namun demikian di dalam PL pun juga  ada topik mengenai hal itu.  Predestinasi sendiri merupakan topik yang termasuk di dalam ranah ketetapan dan pertimbangan Allah. Yakub Susabda dalam bukunya “Mengenal dan Bergaul dengan Allah”  memberikan pembahasan mengenai topik predestinasi tersebut dan penulis akan menggunakan buku tersebut sebagai sumber utama di dalam tulisan ini. Susabda memberikan bukti-bukti baik di dalam Perjanjian Lama (PL) maupun Perjanjian Baru (PB) dimana Allah sendiri bertindak untuk memilih sesuai dengan kehendak-Nya. Dalam PL tindakan Allah tentang pemilihan-Nya  dapat disaksikan melalui contoh-contoh seperti, Ia berkenan kepada Habil kemudian memilih keturunan Set, dan menolak turunan Kain (Kej. 4:25-26, 5:1-32, 4:17-24). Ia membenci Esau dan mengasihi Yakub dan Israel keturunannya (Kej 25:23, Rom. 9:11-12) (220). Allah kemudian menyingkapkan pikiran-Nya untuk diketahui umat-Nya melalui hukum-hukum yang diberikan-Nya kepada mereka, dan sampai pada suatu waktu tertentu Ia sendiri menyingkapkan apa yang sebetulnya menjadi tujuan-Nya yaitu keselamatan yang dijanjikan melalui Mesias. Keselamatan itu sendiri bukanlah berdasarkan pemilihan kelompok tetapi pemilihan pribadi. Oleh karena itu orang Israel tidak dapat mengklaim dengan sendirinya bahwa mereka pasti selamat tanpa memiliki iman atau percaya pada janji Allah. Demikian juga dalam PB, Rasul Paulus memanggil jemaat sebagai orang-orang pilihan Allah (Kol. 3:11). Sehingga bilamana di dalam PL ditunjukkan mengenai pemilihan Allah terhadap bangsa Israel, maka di dalam PB Allah dengan cara yang lebih jelas lagi menyatakan kehendak-Nya. Yaitu Ia bukan memilih suatu kelompok, melainkan pribadi-pribadi (Mat. 24:31, Luk 18:7, Kis. 13:48, Rom. 8:33) (222).   Dengan demikian, bukti-bukti tersebut sekaligus mau menyatakan bahwa konsep predestinasi adalah konsep yang  secara jelas diajarkan di dalam Alkitab.
B. Pengertian Predestinasi
                Pemilihan atau yang biasa disebut dengan Predestinasi merupakan tindakan Allah dalam mempertimbangkan dan menetapkan suatu pemilihan bagi manusia yang telah jatuh ke dalam dosa untuk memberinya suatu anugerah keselamatan. Sedangkan menurut John Sailhamer, “In the popular mind, the term Predestination usually means the decree of God whereby he determined in eternity past the destinity of all of humankind, both the saved and the lost.”[1] Penentuan atas pemilihan tersebut telah terjadi sejak semula di dalam kekekalan (Roma 8:29). Kata yang dipakai oleh Rasul Paulus dalam Roma 8 tersebut adalah (Yunani “προοριζω“ – predestinate). Susabda mengatakan bahwa Allah yang memilih dan menetapkan itu semata-mata didasarkan atas kasih dan anugerah-Nya serta menurut pertimbangan-Nya sendiri, tanpa melandasakannya pada perbuatan dan kebaikan manusia (Mark 13:20, Kis 9:15, 13:17) (222). Oleh karena dalam Roma 3:9-20 sendiri dikatakan mengenai identitas manusia yang telah rusak, dimana tidak ada seorangpun yang berbuat benar dan mencari Allah. Namun dalam keadaan yang seperti demikian, Allah justru menunjukkan kasih-Nya melalui anak-Nya yang telah mati ketika manusia masih berdosa. Jadi konsep pemilihan adalah merujuk kepada suatu anugerah yang sebetulnya tidak layak diterima oleh manusia.



C. Perkembangan Konsep Predestinasi dalam Sejarah
Doktrin Predestinasi sebetulnya sudah ada sejak zaman bapa-bapa gereja, meskipun pada gereja mula-mula tidak membahas mengenai hal ini karena berfokus pada aspek-aspek praktis Injil tentang bagaimana berita sukacita dibagikan. Pemikiran gereja mula-mula tentang kebebasan manusia meresponi Anugerah Allah, kemudian dikembangkan lagi melalui suatu konsep theologi dengan lebih rinci oleh Pelagius, yaitu seorang tokoh yang mewakili gereja-gereja timur (Abad 4-5). Ia berpandangan bahwa manusia itu memiliki ‘free will’,  sebab hanya dengan memiliki hal itulah manusia dapat memiliki tanggung-jawab. Dan kebebasan yang ia miliki menyebabkan ia mampu memilih serta juga merealisasikan pilihannya. Pelagius percaya bahwa keselamatan dari Allah diperoleh manusia dengan kesadarannya memilih untuk menerima berita Injil, sementara jika manusia menolak maka konsekuensinya adalah binasa. Singkatnya Pelagius percaya bahwa manusia bisa menentukan nasibnya sendiri (224). Kemudian pandangannya dikembangkan lagi oleh John Cassianus. Ia berpandangan bahwa kejatuhan manusia telah melumpuhkan dirinya tetapi bukan berarti manusia tidak bisa apa-apa, ia memang sakit dan tidak bisa menolong dirinya sendiri, namun ia masih bisa menerima obat, yaitu keselamatan dari Allah. Pandangan ini seolah-olah telah memasukkan konsep predestinasi, namun pada dasarnya masih tergantung sikap manusia. Pandangan ini disebut sebagai Semi-Pelagianisme (225). Menurut Susabda pemikiran seperti itu belum konsisten dengan Alkitab walaupun argumentasinya di dasarkan pada beberapa ayat Alkitab, sehingga Susabda kemudian berusaha merujuk kepada pandangan Agustinus yang kemudian dipakai oleh Calvin dimana buah-buah pikiran yang merupakan hasil pergumulannya lebih konsisten dengan apa yang diajarkan Alkitab.  Menurut Agustinus, manusia yang telah mati di dalam dosa tidak punya “will” untuk percaya kepada Injil, karena itu Allah memberi “grace” kepada mereka supaya mereka mampu meresponi berita tentang keselamatan di dalam Injil. Grace yang diberikan Allah ada beberapa tahapan, yaitu prevenient grace (yang menghidupkan will manusia), cooperating grace (anugerah untuk bekerja sama dengan Roh Kudus), sufficient grace (anugerah untuk terus memelihara hal baik yang telah dimulainya) dan efficient grace (anugerah untuk hidup dalam kebenaran yang dipercayainya). Sehingga dapat disimpulkan bahwa keselamatan itu hanyalah karena anugerah (226). Pandangan Agustinus ini diterima oleh Gereja khususnya di Barat kecuali pandangannya tentang double-predestination, yaitu pandangan bahwa Allah sejak mula menetapkan sebagian orang untuk diselamatkan dan sisanya dibinasakan. Konsep mengenai predestinasi sendiri sebetulnya juga dipegang oleh kaum Lutheran, yaitu mereka percaya bahwa keselamatan adalah anugerah namun mereka menolak ekses yang bisa timbul bila dirumuskan dengan lebih jelas tentang konsep predestinasi oleh sebab hal itu akan menimbulkan kegelisahan dalam hati nurani manusia (230). Doktrin pemilihan ini selalu dikaitkan dengan Calvinis atau Reformed, meski realitanya beberapa teolog reformed sendiri memiliki pandangan yang berbeda. Ada beberapa tokoh Reformed yang memilih pandangan moderat, yaitu mereka memulainya dengan anugerah Allah dalam Kristus, dimana pengetahuan pemilihan tentang Allah digunakan untuk semakin meneguhkan iman orang percaya dan mendorong mereka agar selalu mengucap syukur (232). Jadi sebagaimana Calvin sendiri mengikuti konsep Agustinus mengenai double-predestination, maka hal tersebut telah menjadi bahan perdebatan, bahkan menjadi persoalan yang mengusik hati nurani manusia. Namun disatu sisi, pandangan Semi-Pelagianisme yang akhirnya dihidupkan kembali oleh Jacob Arminius yang adalah tokoh dari Arminianisme, tidaklah konsisten dengan Alkitab karena hanya menekankan “free will” manusia dan mengabaikan Allah sebagai penentu anugerah.
D. Tanggapan
                Konsep predestinasi adalah hal yang sulit untuk dipahami. Sewaktu pertama kali mengetahui doktrin ini dalam ajaran Calvin maka ada dua hal yang tampak seperti kontradiksi dan membingungkan yaitu disatu sisi pemilihan itu semata-mata didasarkan oleh kasih Allah kepada manusia yang berdosa, namun disisi lain kebinasaan orang-orang yang tidak terpilih membuat keadilan Allah dipertanyakan. Jika Allah maha kasih mengapa Allah hanya memilih sebagian dan yang lain dibiarkan untuk binasa? Pergumulan akan doktrin ini seringkali memaksa penulis untuk memikirkan konsekuensi logis mengenai predestinasi. Yaitu jika Allah memberikan anugerah keselamatan hanya kepada beberapa orang (karena realitanya tidak semua orang), maka yang lain tentunya akan binasa (apakah Tuhan menentukan orang untuk binasa?), bukankah Allah tidak menghendaki seorangpun binasa (1 Pet. 3:9) ? Pertanyaan-pertanyaan ini sebetulnya adalah keinginan penulis untuk merasionalisasikan hal-hal yang sulit untuk dipahami, sehingga akhirnya penulis terjebak ke dalam suatu keadaan dimana fokus dan tujuan penulis telah berubah. Penulis mengambil sikap yang keliru ketika akhirnya mempertanyakan keadilan Tuhan, oleh karena Allah memiliki atribut-atribut yang kompleks yang tentunya tidak hanya menekankan salah satu sisi dari atribut-Nya saja. Keinginan untuk mengerti hal-hal yang “diluar pengertian”  atau “dalam konteks kekekalan” adalah hal yang sebetulnya kurang bijak, sebab rasio manusia yang terbatas tak mampu mengertu hakekat Allah yang tak terbatas dan logika pikir yang terikat dengan hukum sebab-akibat yang terikat ruang dan waktu tidak berlaku dalam kekekalan. Maka hal yang memungkinkan  adalah  mengalami pengalaman-pengalaman iman walaupun  tidak pernah selesai memahaminya.
                Namun, penulis akhirnya sangat menyetujui solusi yang diberikan Susabda bahwa hal yang penting adalah mampu memahami dua konteks yang berbeda, yaitu kairos dan kronos, sebab tanpa memahami perbedaan keduanya maka tidak menutup kemungkinan bahwa hal-hal yang berada di dalam konteks kairos dituntut untuk dimengerti semua dalam konteks kronos (walau ada sedikit penyingkapan tentang hal-hal dalam konteks kairos), dan sebaliknya hal-hal yang sebetulnya berkaitan dengan konteks kairos seperti, pertimbangan dan keputusan Allah digunakan untuk mendukung hal-hal yang ditemukan pada konteks kronos.
                Selanjutnya adalah masalah paradoks antara predestinasi dan free will. Kedua hal ini juga sulit dimengerti. Jika Allah telah menetapkan maka, sepertinya tanggung jawab manusia menjadi hilang karena apa yang ditetapkan Allah itulah yang pasti akan terjadi. Berkhof memberi contoh suatu  pandangan yaitu bahwa doktrin ini menyingkirkan semua motif bagi usaha manusia. Jika Allah telah menetapkan, maka seseorang tidak perlu memikirkan masa depannya bahkan tidak perlu usaha apa-apa untuk memperoleh keselamatannya.[2] Menurutnya ini adalah pandangan yang salah, tetapi doktrin “Once saved always saved” sendiri memang mudah sekali disalah-pahami.  Sebetulnya Alkitab sendiri mengajarkan paradoks, contohnya ketika Paulus mengatakan “Kerjakanlah keselamatanmu… (menekankan free will), kemudian ia melanjutkan “Karena Allahlah yang mengerjakan di dalam kamu,… menurut kerelaan-Nya”. (Filipi 2:12-13). Jadi meskipun Allah telah memberikan suatu jaminan akan keselamatan, suatu tanggung jawab tetaplah dituntut dari manusia, karena tujuan keselamatan yang diberikan adalah termasuk juga proses pengudusan yang menjadikan-Nya semakin serupa dengan Kristus, yang artinya ada perjuangan untuk menundukkan diri agar taat terhadap bimbingan Allah. Susabda dalam persoalan ini memberi solusi bahwa tidak mungkin predestinasi Allah terjadi kalau Ia tidak memakai sarana-sarana yang mewujudkan ketetapan-Nya yang ada disana, dan sarana itu adalah ‘kehendak bebas’ (251). Berkhof juga menambahkan bahwa suatu ketetapan dari Allah itu meneguhkan satu intra-hubungan antara sarana dan hasil akhir, dan hasil akhir ditetapkan hanya sebagai hasil dari sarana, ketetapan ini mendorong adanya usaha dan bukan melemahkan usaha itu.[3]  Namun begitu banyak orang percaya juga salah memahami konsep ini, oleh sebab mereka menganggap bahwa ketika Allah menetapkan dan hal itu diwujudkan dalam free will manusia, maka seolah-olah manusia hanyalah sebagai robot yang dikendalikan oleh Allah supaya rencana-Nya terwujudkan. Tetapi sanggahan ini malah membuktikan ketidakpahaman mengenai konsep anugerah. Sebab, orang  percaya menurut Agustinus diberi anugerah yang merawat kehendaknya supaya kembali mencintai kebenaran secara bebas.[4] Hal ini berhubungan erat dengan kondisi manusia setelah kejatuhan yang ‘will’ nya sudah rusak, dan cenderung kepada berbuat yang tidak benar di hadapan Allah (Roma 3:9-12). Oleh karena itu Allah memberi anugerah untuk membebaskan manusia dari perbudakan kuasa dosa yang cenderung menghasilkan perbuatan-perbuatan kedagingan. Jadi predestinasi dan free will tidaklah bertentangan, dan manusia bukanlah robot, keselamatan adalah suatu jaminan kekal dari Allah.
                Dengan demikian, penulis ingin menyimpulkan bahwa Predestinasi adalah suatu ketetapan Allah dimana orang percaya seharusnya mengambil sikap yang positif, yaitu meresponinya dengan ucapan syukur dan kerendahan hati atas kemurahan Allah yang telah diberikan. Penulis setuju dengan apa yang dikatakan oleh  Schaeffer bahwa, “The proper response to this mystery should not be intellectual frustration or artificial harmonizations but rather an attitude of humility, reverence, and worship.”[5] Penulis juga berusaha menyediakan ruang untuk hal-hal yang tidak pernah dipahami oleh rasio, dan tidak berusaha untuk mengertinya, melainkan berfokus kepada pengenalan akan Allah melalui pengalaman-pengalaman iman yang semakin memperkaya dan memperdalam spiritualitas kehidupan di dalam Kristus.


DAFTAR PUSTAKA

Berkhof, Loius. Teologi Sistematika: Doktrin Allah. Diterjemahkan oleh Yudha Thianto Surabaya: Momentum, 1993.

R. Burson, Scott and Walls, Jerry L.  C.S Lewis & Francis Schaeffer: Lessons for a New Century From The Most Influential Apologists. Downners Grove: InterVarsity Press, 1998.

Sailhamer, John H.  Christian Theology. Grand Rapids, Michigan: Zondervan, 1998.
Susabda, Yakub B. Mengenal dan Bergaul dengan Allah. Batam Centre: Gospel Press, 2002.
Urban, Linwood. Sejarah Ringkasan Pemikiran Kristen. Diterjemahkan oleh Liem Sien Kie Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006.


[1] John H. Sailhamer, Christian Theology (Grand Rapids, Michigan: Zondervan, 1998), 35.
[2] Loius Berkhof, Teologi Sistematika: Doktrin Allah, terj. Yudha Thianto (Surabaya: Momentum, 1993), 194.
[3] Loius Berkhof, Teologi Sistematika: Doktrin Allah, 195.
[4] Linwood Urban, Sejarah Ringkasan Pemikiran Kristen, terj. Liem Sien Kie (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), 237.
[5] Scott R Burson and Jerry L. Walls, C.S Lewis & Francis Schaeffer: Lessons for a New Century From The Most Influential Apologists (Downners Grove: InterVarsity Press, 1998), 88.

2 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. Saya mnyimpulkan predestinasi mnurut penulis adalah Jaminan kekal bersyarat , sdgkn tdk ada jaminan manusia bisa memenuhi syarat scr trs menerus .. artinya sewaktu waktu jaminan kekal ini bisa berubah wujud jd jaminan sementara/tdk kekal...

    BalasHapus